Kamis, 18 November 2010

kendala pengungsian korban gunung merapi dan solusi penangulangannya


JALIN MERAPI (Sleman, 18/11/2010) – Jumlah pengungsi yang membeludak di Stadion Maguwoharjo menyebabkan munculnya pos komando (posko) bantuan dari sejumlah lembaga. Akan tetapi, hal ini menimbulkan masalah, yaitu menumpuknya posko-posko bantuan di lokasi tersebut. Sementara, titik-titik pengungsian lain masih ada yang belum terjamah bantuan secara memadai

tetapi mereka memiliki kendala terbatasnya jumlah relawan dan sarana transportasi. Pantauan tim relawan informasi Jalin Merapi dalam beberapa hari terakhir juga menemukan bahwa terdapat sekitar 10 posko yang kerap ditinggal petugasnya. Sehingga, posko-posko ini sering hanya tersisa wujudnya tanpa ada aktivitas berarti yang bermanfaat bagi para pengungsi.

nampak bahwa peran posko mandiri yang dikelola swadaya oleh masyarakat ataupun kelembagaan sosial di tingkat lokal sangatlah berarti bagi penyelamatan jiwa pengungsi. Kendati demikian, kehandalan posko mandiri berada dalam dilema. Sementara di posko utama bertumpuk bantuan dan layanan pemerintah, posko mandiri dari waktu ke waktu daya topang layanan warga penerima pengungsi semakin melemah

Sejumlah temuan di lapangan menunjukkan bahwa masih ada warga yang belum terjangkau bantuan yang memadai atau kalau pun toh ada masih sangat sedikit mendapatkan bantuan kemanusiaan.

Khawatirkan Ternak dan Jenuh di Pengungsian
Menurut keterangan beberapa warga yang ikut mengungsi, rasa bosan, jenuh, serta tidak bebas membuat mereka ingin segera kembali ke rumah dan melanjutkan kembali aktivitas sehari-hari yang sempat terhenti. “Di pengungsian, tidak banyak yang bisa dilakukan,” keluh Gito Prayitno, pemilik warung makan di Pasar Cepogo. Gimar (35) dan istrinya, warga Selo, sejak Minggu lalu (14/11) memutuskan untuk kembali menjual sayur ke Muntilan.  “Mlaku niku nggih tombo stres (berjalan-jalan juga bisa menjadi obat stress),” jelas istri Gimar.
Selain rasa jenuh di pengungsian, beberapa warga mengaku terpaksa kembali ke rumah karena khawatir dengan kondisi ternak mereka. Sebagian besar warga Selo dan sekitarnya sebenarnya hidup dari pertanian. Namun, paska letusan besar Merapi, lahan pertanian mereka tidak bisa lagi diandalkan untuk jangka waktu lebih kurang 6 bulan ke depan. Dalam kondisi tersebut, mereka hanya punya satu gantungan hidup, yaitu ternak mereka. Maka, tidak heran jika mereka rela bolak-balik dari pengungsian ke rumah untuk memberi makan ternak. Beberapa warga bahkan memilih untuk tetap di rumah, tidak kembali ke pengungsian, demi menjaga ternak mereka.
Di Desa Bendan dan Dukuh, Kecamatan Banyudono, para pengungsi asal Desa Musuk, Kecamatan Musuk mendesak kepala desa mereka agar diperbolehkan pulang ke rumah. “Karena tidak bisa membendung keinginan warga, Pak Kades akhirnya memperbolehkan warganya kembali ke rumah dan sanggup bertanggung jawab atas kepulangan warga tersebut,” jelas Totok Sudaryanto (41), koordinator Posko pengungsian Balai Kapujanggan, Bendan, Banyudono. Para pengungsi di dua desa ini akhirnya beramai-ramai kembali ke Desa Musuk pada Sabtu sore pekan lalu (13/11).
Penjualan Ternak
Lama di pengungsian membuat situasi serba sulit bagi warga. Jarak yang jauh untuk memberi makan dan kondisi pakan yang terkena material vulkanis membuat pengungsi yang memiliki ternak serba salah. Kondisi keuangan yang semakin kritis juga menyudutkan mereka. Hal inilah yang memaksa warga untuk menjual ternak mereka.
Situasi ini kemudian dimanfaatkan para juragan sapi untuk membeli sapi para pengungsi dengan separuh harga. “Kalau harus bolak-balik Maguwo untuk ngasih makan ternak, lama-lama gak ada ongkos bensin, ya terpaksa ternak saya jual, walalupun separuh harga,” kata seorang pengungsi dari Ngepring, Purwobinangun, Pakem, yang sementara tinggal di pengungsian Maguwoharjo.
Pemerintah Kabupaten Sleman menghimbau warga yang memiliki ternak untuk sabar dan tidak terburu-buru. Suwandi Azis juga menghimbau Asosiasi Pedagang Sapi untuk membeli sapi pengungsi dengan harga normal dan wajar. “Kami masih menunggu Merapi mereda, baru proses selanjutnya bisa berjalan, yakni penggantian dan pembelian sapi warga,” kata Suwandi.
Jika dicermati, fenomena jual beli ternak dengan harga miring ini akan sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan ekonomi para pengungsi. Sebagian besar pengungsi hidup dari pertanian dan peternakan. Pertanian jelas tidak bisa lagi diandalkan untuk beberapa bulan ke depan karena timbunan debu dan pasir vulkanik di lahan-lahan pertanian warga menyebabkan gagal panen secara massal. Dalam kondisi ini, warga hanya mempunyai satu sumber ekonomi, yaitu ternak yang masih hidup. Jika berbagai desakan hidup di pengungsian memaksa warga menjual ternak mereka dengan harga miring, darimana mereka akan hidup? Apakah seterusnya akan mengandalkan bantuan? Mencermati kondisi tersebut, harusnya pemerintah segera melakukan langkah tegas dan nyata untuk mencegah praktik jual beli ternak dengan harga miring tersebut, tidak sekadar himbauan semata.
Aktivitas Merapi yang sampai saat ini masih fluktuatif berakibat pada proses penggantian ternak menjadi berlarut-larut. Sementara, warga yang ternaknya mati harus sabar menunggu tindak lanjut dari pemerintah sampai Merapi mereda, belum jelas sampai kapan. Di sisi lain, beberapa warga yang ternaknya selamat terpaksa menjual ternak mereka karena himpitan hidup di pengungsian. Masih adakah alasan untuk menunggu?
Ketua posko medik veteriner peduli Merapi, Prof. Dr. drh. Ida Tjahajati, M.S., mengatakan salah satu kegiatan posko adalah mengirimkan tim dokter hewan ke lokasi bencana untuk memberikan pengobatan gratis dan membantu mengevakuasi ternak sapi. "Tim dokter hewan terjun langsung ke lapangan memberi pengobatan juga menngevakuasi sapi yang masih terperangkap," kata Ida Tjahajati  saat ditemui di posko yang berlokasi di RSH Prof. Soeparwi, Jumat (29/10).
Evakuasi terhadap ternak yang masih terperangkap di lokasi bencana akan dilakukan secepatnya untuk menghindari terjadi penyebaran penyakit. "Supaya tidak timbulkan wabah penyakit dan bau busuk, perlu dievakuasi dan dikuburkan secepatnya," katanya.
Dari hasil pengamatan dan pemantauan tim dokter hewan yang dilaksanakan kemarin, ditemukan banyak ternak sapi yang mengalami luka bakar dan menderita penyakit pneumonia. "Sapi-sapi ini terkena radang saluran pernafasan dan pencernaan akibat tercemar pasir dan debu abu vulkanik," kata Direktur RSH Prof. Soeparwi ini.
Di samping itu, ternak yang berasal dari daerah Cangkringan, Sleman, ini juga menghadapi persoalan minimnya pasokan pakan ternak berupa hijauan dan air bersih. "Karena pakan hijauan yang ada di sana sudah tercemar debu vulkanik dan ini sangat berbahaya bagi kesehatan ternak," imbuhnya.
Menurut rencana, tim dokter hewan yang diterjunkan dari FKH UGM akan bekerja selama tiga bulan ke depan untuk membantu Dinas Peternakan Sleman dalam membantu penanganan kesehatan ternak sampai para pemilik ternak dapat kembali ke rumah masing-masing.
Ditemui secara terpisah di posko kesehatan hewan Kepuharjo, Cangkringan, Kepala Bidang Peternakan Sleman, Ir. Suwandi Aziz, menyebutkan ada sekitar 2.000-an ekor ternak sapi perah yang ditangani oleh tim dokter hewan yang tersebar di tiga desa, yakni Umbulharjo, Kepuharjo, dan Glagaharjo, sebagai daerah yang diprioritaskan untuk mendapatkan penanganan kesehatan hewan. "Hingga saat ini kita baru mendata 275 sapi yang mati, masih ada 12 sapi lagi yang belum sempat dievakuasi karena lokasinya masih cukup bahaya, tapi secepatnya akan kita evakuasi,"  kata Suwandi. Dari 275 hewan yang ditemukan mati tersebut berasal dari Pelemsari dan Kaliadem yang terkena dampak awan panas dan debu vulkanik.
Suwandi menginformasikan sapi milik peternak yang sudah mati akan mendapat ganti rugi dari pemerintah dalam bentuk bantuan sapi yang sama. "Kita akan mengganti dengan sapi yang sama," katanya.
drh. Kristianti yang bertugas setiap harinya di pos penampungan hewan Umbulharjo mengaku kebanyakan sapi yang ditangani sekitar 30-50 persen mengalami luka bakar. "Kita lebih banyak memberikan obat anti infeksi, anti radang, dan anti stress," kata lulusan FKH UGM tahun 1997 ini.
Dari hasil pemantauan, jumlah sapi yang ada di penampungan semakin berkurang. Sebelumnya berjumlah 37 ekor, kini menjadi menjadi 23 ekor. "Sebagian sudah diambil pemiliknya untuk dijual," ujarnya.

Solusi penanganan korban bencana merapi
Pemerintah Indonesia yang telah menggalangkan dana , termasuk dari luar negeri telh berupaya dalam segala hal. Mereka menggerakan relawan yang terjun langsung ke lokasi pengungsian berusaha untuk menenangkan korban dengan bantuan seperti:
-tiap ternak yang mati akan di ganti pemerintah dalam periode tertentu
-kekurangan nya transportasi untuk mengevakusi lokasi akan di atasi dengan bantuan dari ibu kota
-kekhawatiran warga akan kesehatan akan di kordinir untuk mendapatkan obat dan penyembuhan tepat pada waktunya
Yang menyebabkan mengapa warga tidak boleh kembali ke rumah di mana mereka tinggal, karena bahaya abu vulkanik terserbut yang dapat mematikan, oleh karena itu warga telah di pupuk kejiwaan mereka oleh relawan PMI ,
-bantuan dari segala arah , bersifat ingin menenangkan warga setempat. Aktivis UGM segera mendesaign bangunan yang layak untuk pengungsian, dan membuat ternak lele sebagai arahan atau pandangan ekonomi sekarang atau kedepannya bagi pengungsi tersebut